Mahadewi

“Lagian kenapa nggak kamu pindahin dulu troleynya?” Rama masih juga tertawa, tidak menyangka bila mobil yang terparkir sembarangan yang tepat berada di hadapannya ternyata mobil Shesa.

Shesa mengulum bibirnya, “Ya tadi ribet banget. Aku sendirian, masa aku turun dulu terus ngegeser troleynya, masuk mobil lagi?”

Rama tidak bisa berhenti tertawa membanyangkan kesulitan Shesa saat memarkir tadi.

I will never know, cause you will never show. C’mon you love me now, c’mon you love me now.

Shesa yang sedang sebal kepada Rama, yang tidak bisa berhenti menertawai dirinya, terkejut dengan ringtone yang berbunyi. Dengan cepat dia kembali mencari BlackBerrynya di tas tangan yang sejak tadi dipangku olehnya.

“Aduh, Nyokap.” Kata Shesa melihat layar BlackBerrynya. “Sebentar yah, Ram.”

Rama hanya mengangguk, sambil mencoba untuk berhenti tertawa.

“Halo Ma. Iya, ini aku di Citos. Ya ampun, ini malam tahun baru, aku sama temen-temen aku. Iya iya, sebelum Subuh aku udah nyampe rumah, kok.” Shesa kesal, umurnya sudah dua puluh dua, tapi masih saja diperlakukan seperti laiknya anak umur sepuluh tahun.

Akhirnya sambungan telepon itu putus setelah Shesa sedikit berteriak kepada ibunya untuk tidak perlu mengkawatirkannya karena sekarang dia berada di tempat yang aman.

“Nyokap nyariin?” Tanya Rama setelah Shesa meletakan kembali BlackBerrynya ke dalam tas.

Shesa mengangguk. Ini kekesalannya yang pertama di tahun 2012, dan Shesa tidak menyangka kekesalan pertama berasal dari ibunya.

“Enak ya, kamu masih punya ibu.” Kata Rama lirih.

Kalimat itu berdampak besar untuk Shesa, dia menoleh ke arah Rama, mencari mata Rama. Namun Rama hanya menunduk, seakan disanalah lawan bicaranya berada.

“Eh, sorry Ram. Aku nggak bermak.. ”

“Loh, santai, Sa. Aku biasa aja kok.” Jawab Rama cepat, memotong kalimat Shesa.

Shesa merasa tidak nyaman, bingung bagaimana harus bertindak. Shesa berpikir bagaimana caranya untuk mengembalikan keadaan seperti semula, penuh tawa dan keterkejutan. Shesa mengharapkan Rama kembali melemparkan topik pembicaraan, tapi hampir satu menit berlalu, Rama masih juga tidak menatapnya.

“Kapan?” Akhirnya Shesa menyerah, dia berpendapat mungkin Rama mau membahasnya. Sehingga Shesa berani untuk menanyakan itu.

Rama menoleh, menatap Shesa yang kini berharap cemas dengan jawaban yang diberikan olehnya. Rama tersenyum.

“Tepat di hari ulang tahun aku. Beliau meninggal waktu melahirkan aku, Sa.”

Pukulan kedua bagi Shesa, karena dia tidak menyangka akan begini ceritanya, bahwa Rama berarti tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Rama tidak tahu rasanya dikhawatirkan oleh seorang ibu, Rama tidak tahu rasanya dibuatkan masakan favorit oleh seorang ibu, Rama tidak tahu rasanya dibacakan cerita oleh seorang ibu sebelum tidur, tidak seperti Shesa yang merasakan itu semua, bahkan sampai dia kesal sendiri.

“Ibuku jago masak loh, kata ayah. Ibuku juga pintar kata kakakku yang pertama, beliau selalu menemaninya membuar PR. Dan ibuku luar biasa cantik kata kakakku yang kedua.” Lanjut Rama, masih dengan tersenyum.

Shesa tidak bisa menjawab apa-apa, dia membiarkan Rama bercerita tentang ibunya yang dia dengar dari orang lain. Rama tidak mempunyai kenangan apapun dengan ibunya, dan itu berhasil membuat Shesa merasa sedih.

“Kata nenek, ibuku anak yang baik. Tapi, ya, mungkin karena nenek orang tuanya, ya? Hahaha.”

Shesa tersenyum.

“Aduh, aku jadi sensitif begini. Malu ah!” Rama tertawa terbahak-bahak, matanya sudah berkaca-kaca.

“Cowok yang sayang sama ibunya itu, punya tempat tersendiri di hati para perempuan loh.” Timpal Shesa sambil tersenyum.

Tawa rama semakin meledak, dan dia tidak tahu apakah air mata yang jatuh adalah air mata kesedihan atau air mata karena tawa yang melebihi dosisnya. Dia biarkan saja dua air mata itu bertemu menjadi satu. Dileburkan.

“Ibuku namanya Dewi, tapi aku tahu kalau beliau lebih cocok menjadi Mahadewi.” Lanjut Rama sambil menyapu air matanya. “Semua ibu di dunia itu Mahadewi, setara dengan Durga, Parwati, Kali, Lakshmi, dan Saraswati.”

“Aku cuma tau Mahadewi lagunya Padi, Ram.”

Setelah mengucapkan itu, Shesa terdiam. Rama juga terdiam mendengar perkataan Shesa. Tidak berapa lama kemudian, mereka berdua tertawa bersama-sama. Sadar bahwa perkataan Shesa sangat jauh keluar dari topik.

“Lain kali, aku ceritain tentang kelima dewi itu, deh. Kamu mau denger?”

“Mau banget!” Jawab Shesa cepat, bersemangat.

Mereka berdua saling melempar senyum.

“Mau ke Starbucks lagi, nggak? Mungkin udah sepi disana. Disini mulai banyak nyamuk.” Kata Shesa akhirnya.

“Ayo.”

Akhirnya mereka berdua berdiri dari trotoar yang sejak tadi difungsikan sebagai tempat duduk, tepat di belakang mobil Shesa yang terparkir. Selama perjalanan menuju Starbucks, Rama tidak menyadari kalau Shesa sibuk dengan BlackBerrynya. Shesa tertinggal beberapa langkah dari Rama.

“Ma, maaf yah. Tadi aku kasar sama Mama. Aku tau Mama khawatir sama aku. Terima kasih ya, Ma. Nanti aku kabarin lagi. Selamat tahun baru, Ma. :)”

D

R

Tidak berapa lama suara PING! nyaring terdengar, membuat Rama yang sejak tadi menatap lurus ke depan tanpa mempeduliakn Shesa yang jalannya melambat karena menatap layar BlackBerrynya, menoleh.

“Iya sayang, nggak apa-apa. Mama juga yang nggak tau situasi untuk khawatir. Kamu kan sudah besar, bisa menjaga diri sendiri, dan ini malam tahun baru. Hati-hati yah, nak. Selamat tahun baru juga.”

Shesa tersenyum di depan layar, ketika wajahnya diangkat untuk mencari Rama, Rama sudah memandangnya dengan bingung.

“Kenapa Sa?”

“Nggak apa-apa.” Jawab Shesa dengan senyuman sambil memasukan BlackBerrynya ke dalam tas.

Kemudian Shesa berjalan menyusul Rama yang sudah ada tiga langkah di depannya. Setalah mereka bersebelahan, perjalanan pun dilanjutkan.

“Terima kasih yah, Ram.” Kata Shesa ketika mereka berdua sudah berada di tangga menuju ruangan kosong yang tadi dipenuhi oleh orang-orang untuk menonton pesta kembang api.

“Buat?”

“Ngenalin aku ke Mahadewi.”

Rama menoleh bingung, namun Rama memilih untuk tidak bertanya. “Sama-sama, Shesa.”

Durga
Parvati
Kali

Minggu

Akhirnya selesai sudah acara pesta kembang api. Semua orang membubarkan diri dari ruangan yang menghadap parkiran. Para orang tua yang membawa anaknya pulang, sedangkan para muda mudi melanjutkan pesta di tengah hallway yang mendadak menjadi tempat rave party.

“Yuk, ke parkiran.”

“Ngapain?” Shesa bingung, lupa bahwa dia sudah mengangguk saat ditawari Rama untuk duduk di parkiran.

Rama tesenyum. “Bukannya tadi kamu bingung mau duduk dimana setelah acara selesai?” Rama berkata sambil melihat ke arah kedai kopi tempat dimana mereka berdua duduk, masih ramai.

“Oh, iya. Aku lupa. Ya udah, yuk!” Akhirnya Shesa mengikuti Rama yang selangkah lebih di depan saat berjalan. Sesekali masih ada kembang api yang berkibar di langit.

“Tahun ini pasti aneh. Awal tahunnya jatuh di hari Minggu, hari terakhir.” Kata Shesa, kembali membuka pembicaraan saat menuruni tangga menuju parkiran.

Rama berhenti berjalan dan menoleh, “Siapa bilang Minggu itu hari terakhir?”

“Loh, memang iya, kan?”

Rama mencari BlackBerrynya yang tersimpan di kantung celana jeansnya. Shesa menunggu dengan sabar sambil memperhatikan orang-orang yang mulai berjalan mencari mobil mereka untuk keluar dari mall ini.

“Nih, liat.” Rama menunjukan aplikasi kalender yang ada di telepon genggamnya kepada Shesa.

Shesa tau apa maksud Rama dan dia terkejut. “Oh iya! Eh, ini pasti karena kamu udah ubah settingannya.”

Shesa segera mencari BlackBerrynya yang berada di tas tangan yang sejak tadi dia gantungkan di bahu tangan kanannya. “Sebentar, sebentar. Aku mau ngecek juga.” Setelah mendapatkan benda yang dia cari, Shesa segera membuka aplikasi kalender, dan mengubahnya menjadi month view, ternyata hasilnya sama seperti apa yang ditunjukan Rama tadi. Minggu berada di awal, menunjukan bahwa dia adalah hari pertama.

“Gimana?” Rama tersenyum jail.

“Ya ampun, aku baru sadar loh.” Balas Shesa akhirnya sambil kembali memasukan telepon genggamnya ke dalam tas tangan.

“Kita, kan, menggunakan kata minggu untuk merujuk awal pekan yang baru. Karena dia hari pertama. Lagian, satu tahun itu ada 52 minggu, bukan 52 senin, kan?” Jelas Rama sambil melanjutkan perjalanan mencari spot untuk duduk di parkiran.

Shesa mengikuti Rama sambil terus berpikir, “Bener, juga yah.”

“Kadang, kita memang suka nggak sadar sama hal yang sederhana.”

“Iya, padahal aku sering banget kalo lagi ngatur jadwal nulis minggu kesekian, minggu kesekian, dan minggu kesekian. Nggak pernah tuh nulis senin kesekian, atau selasa kesekian.”

Rama tertawa mendengar penjelasan Shesa. “Kamu ngatur jadwal kamu? Memangnya kamu sesibuk apa sampai harus membagi minggu? Hahaha.”

Shesa hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaan Rama. Lagipula Shesa tahu, Rama tidak mengharapkan jawaban darinya. “Tunggu! Terus kenapa Minggu termasuk dalam kategori weekend?” Shesa tersadar ada yang salah dari pembicaraan ini.

Rama terdiam, berpikir. “Aku juga nggak tau. Kamu mau aku buat cerita sok taunya?”

Shesa mengangguk cepat.

***

Masalah terjadi saat Dewa Surya mengambil jatah waktu istrinya, Dewi Chandra, dan membuat siang lebih panjang dari sebelumnya. Seharusnya mereka seimbang membagi waktu tugas, 12 jam setiap harinya.

Dulu, Dewa Surya sudah dapat dilihat setiap pukul 4, dan dia akan menyerahkan tugasnya kepada Dewi Chandra tepat pada pukul 16. Semuanya berjalan dengan baik sampai Kartika, anak Dewa Surya dan Dewi Chandra yang selalu ada diantara jam tugas mereka, tiba-tiba tidak mau menemani ayahnya bertugas.

Kartika lebih suka menemani ibunya bertugas, karena disaat malam tiba, para manusia akan tertidur dan dia bebas memamerkan cahayanya untuk dikagumi para manusia yang masih terbangun, kadang, dia berlarian kesana-kemari. Kalaupun tertangkap oleh mata manusia, Kartika bisa tenang, karena dia akan dianggap sebagai meteor. Ini jelas berbeda saat Kartika menemani ayahnya bertugas, dia tidak bisa memamerkan cahanya seenaknya dan bermain kesana-kemari, karena manusia banyak yang melakukan aktivitas di siang hari.

Dewa Surya marah karena Kartika membangkang, sehingga dia memutuskan untuk menunggu Kartika muncul di waktu yang sudah ditetapkan sebagai waktu tugas Dewi Chandra. Saat itu manusia keheranan karena siang tak kunjung selesai, langit menjadi berwarna merah karena ada dua sumber cahaya.

Dewi Chandra pun sempat khawatir, dengan cepat dia mengadu kepada Dewa Siwa, karena jika ini dibiarkan, keseimbangan Bumi akan hancur. Hingga pukul 19, Dewa Surya masih bisa dilihat oleh manusia. Sampai-sampai manusia berpikir bahwa ini adalah akhir dari dunia.

Karena hal tersebut, Dewa Siwa akhirnya memutuskan untuk melakukan perubahan di Bumi. Kartika dihukum untuk menemani ayahnya, Dewa Surya, selamanya tanpa terlihat oleh mata manusia, sehingga Kartika tidak lagi bisa memamerkan cahayanya. Dan Dewa Surya, karena kesalahannya muncul lebih lama di langit, dihukum dengan bertugas lebih lama, sampai pukul 18.

Sejak saat itu, manusia menamai hari dimana Dewa Surya muncul lebih lama sebagai hari Surya. Karena di hari itu, manusia bisa lebih lama menikmati cahaya, anak-anak lebih lama bermain di luar. Manusia bersenang-senang di hari itu. Keesokan paginya mereka harus sudah siap untuk beraktivitas kembali karena sudah diberikan cahaya yang lebih di hari sebelumnya.

***

“Hahaha!” Shesa tertawa terbahak-bahak mendengar cerita yang dikarang habis-habisan oleh Rama. Shesa tidak mengira bahwa Rama ternyata pandai mengacak-acak mitologi, tidak hanya kepada Siren, tapi sampai ke Dewa-Dewi.

“Kok ketawa? Gimana pendapatnya?” Tanya Rama sambil terus memandang Shesa.

“Kamu lucu, Ram.” Kata Shesa disela tawanya. “Kamu sampe nyiptain hari Surya segala. Kita, kan, lagi ngomongin hari Minggu.” Shesa melanjutkan tawanya.

“Kamu lupa hari Minggu itu bahasa inggrisnya apa?”

Shesa terdiam. Dia baru menyadari bila Rama sangat cerdas.

Surya
Chandra